Sabtu, 15 Januari 2011

Sukun, Bisa Jadi Sumber Karbohidrat


Sukun adalah nama sejenis tanaman/pohon. Buah sukun tidak berbiji dan memiliki bagian yang empuk, yang mirip roti setelah dimasak atau digoreng. Karena itu, orang-orang Eropa mengenalnya sebagai "buah roti". Sukun berasal dari Polynesia, tempat terdapat 40 jenis sukun yang tumbuh. Sukun yang menjadi makanan pokok dari Kepulauan Polynesia diperkenalkan ke Hawai, Indonesia, dan Filipina. Sukun disebut juga breadfruit (artocarpus).

Sebenarnya sukun merupakan kultivar yang terseleksi sehingga tak berbiji. Kata "sukun" dalam bahasa Jawa berarti "tanpa biji" dan dipakai untuk kultivar tanpa biji pada jenis buah lainnya, seperti jambu klutuk dan durian. "Moyangnya" yang berbiji (dan karenanya dianggap setengah liar) dikenal sebagai timbul, kulur (bahasa Sunda), atau kluwih (bahasa Jawa). Di daerah Pasifik, kulur dan sukun menjadi sumber karbohidrat penting. Di sana dikenal dengan berbagai nama, seperti kuru, ulu, atau uru. Nama ilmiahnya adalah Artocarpus Altilis.


Tanaman sukun jika sedang musimnya bisa berbuah sangat lebat, tetapi sayangnya tidak bisa disimpan lama. Sukun sebagai sumber karbohidrat juga dimanfaatkan sebagai makanan pokok di Mentawai sebelum mengenal beras. Sukun mempunyai kelebihan sebagai sumber karbohidrat. Kandungan protein sukun segar lebih tinggi daripada ubi kayu, kandungan karbohidratnya lebih tinggi daripada ubi jalar atau kentang. Dalam bentuk tepung, nilai gizinya lebih kurang setara dengan beras.

Dengan demikian, sukun, khususnya tepung sukun, mempunyai prospek yang sangat baik sebagai pangan sumber karbohidrat. Buah sukun yang digoreng atau direbus, biasa dinikmati sebagai cemilan. Ketika diolah sebagai tepung sukun, dapat dibentuk sebagai mi. Kita bisa mencoba memasukkan tepung sukun pada makanan dengan rasa yang tidak menyimpang dari aslinya.
Hasil dan Kegunaan
Buah sukun (tak berbiji) merupakan bahan pangan penting sumber karbohidrat di pelbagai kepulauan di daerah tropik, terutama di Pasifik dan Asia Tenggara. Sukun dapat dimasak utuh atau dipotong-potong terlebih dulu: direbus, digoreng, disangrai atau dibakar. Buah yang telah dimasak dapat diiris-iris dan dikeringkan di bawah matahari atau dalam tungku, sehingga awet dan dapat disimpan lama. Di pulau-pulau Pasifik, kelebihan panen buah sukun akan dipendam dalam lubang tanah dan dibiarkan berfermentasi beberapa minggu lamanya, sehingga berubah menjadi pasta mirip keju yang awet, bergizi dan dapat dibuat menjadi semacam kue panggang. Sukun dapat pula dijadikan keripik dengan cara diiris tipis dan digoreng.

Sukun dapat menghasilkan buah hingga 200 butir per pohon per tahun. Masing-masing buah beratnya antara 400-1200 g, namun ada pula varietas yang buahnya mencapai 5 kg. Nilai energinya antara 470-670 kJ per 100 gram. Tidak mengherankan bila sukun menarik minat para penjelajah Barat, yang kemudian mengimpor tanaman ini dari Tahiti ke Amerika tropis (Karibia) pada sekitar akhir 1780an untuk menghasilkan makanan murah bagi para budak di sana.

Daging buah yang telah dikeringkan dapat dijadikan tepung dengan kandungan pati sampai 75%, 31% gula, 5% protein, dan sekitar 2% lemak. Timbul, kulur, atau kluwih (yang berbiji) lebih banyak dipetik tatkala muda, untuk dijadikan sayur lodeh, sayur asam, atau ditumis dengan cabai. Biji timbul yang tua juga kerap direbus, digoreng, atau disangrai untuk dijadikan camilan.

Daun-daunnya dapat dijadikan pakan ternak. Kulit batangnya menghasilkan serat yang bagus yang pada masa lalu pernah digunakan sebagai bahan pakaian lokal. Getahnya digunakan untuk menjerat burung, menambal (memakal) perahu, dan sebagai bahan dasar permen karet. Kayu sukun atau timbul berpola bagus, ringan dan cukup kuat, sehingga kerap digunakan sebagai bahan alat rumah tangga, konstruksi ringan, dan membuat perahu.
Penyebaran dan Ekologi
Asal-usul sukun diperkirakan dari kepulauan Nusantara sampai Papua. Mengikuti migrasi suku-suku Austronesia sekitar 2000 tahun sebelum Masehi, tanaman ini kemudian turut menyebar ke pulau-pulau di Pasifik. Diperkirakan pada masa perdagangan rempah di akhir zaman Majapahit, sukun menyebar ke Jawa dari Maluku. Karena pengaruh kolonisasi bangsa-bangsa Eropa, sukun ini lalu menyebar ke barat antara tahun-tahun 1750-1800 ke Malaysia, India, Srilangka, Mauritius, dan pada 1899 tiba di Afrika. Kini sukun telah menyebar luas di berbagai belahan dunia terutama di lingkar tropis.

Sukun menyukai iklim tropis: suhu panas (20-40˚C), banyak hujan (2000-3000 mm pertahun) dan lembab (lengas nisbi 70-90%), dan lebih cocok di dataran rendah, di bawah 600 m dpl., meski dijumpai sampai sekitar 1500 m dpl. Anakan pohon lebih baik tumbuh di bawah naungan, namun kemudian membutuhkan matahari penuh untuk tumbuh besar. Meskipun kebanyakan kultivarnya akan tumbuh dengan baik pada tanah-tanah aluvial yang subur, dalam dan berdrainase baik, akan tetapi variasi kemampuannya sangat besar. Maka ada varietas-varietas yang tumbuh baik di tanah berawa, tanah kapur, tanah payau dan lain-lain.

Ada yang mengatakan bahwa daun sukun yang telah tua dan gugur, dapat digunakan untuk pengobatan tradisional pembesaran prostat, menurunkan gula darah, serta pengobatan gagal ginjal. Namun hal ini belum dilakukan penelitian lebih lanjut.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar